Wednesday, October 21, 2009

Tradisi Penyalinan Al-Quran di Acheh



Oleh: Ali Akbar
Alumnus Pascasarjana Jurusan Filologi UI Bekerja di Bayt Alquran & Museum Istiqlal, Jakarta

Penulisan mushaf Alquran telah dimulai sejak abad ke-7 M (abad pertama Hijri). Empat atau lima salinan pertama Alquran pada masa Khalifah Usman bin ‘Affan yang dikirim ke beberapa wilayah Islam, pada tahun 651 M, selanjutnya menjadi naskah baku bagi penyalinan Alquran — disebut Rasm Usman . Dari naskah itulah kemudian, pada abad-abad selanjutnya, semua salinan Alquran dibuat.

Di Nusantara, penyalinan Alquran diperkirakan dimulai dari Aceh, sejak sekitar abad ke-13 M, ketika Pasai, di pesisir ujung timur laut Sumatra, men jadi kerajaan pertama di Nusantara yang memeluk Islam secara resmi melalui pengislaman sang raja, yaitu Sultan Malik as-Saleh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam sejak awal atau pertengahan abad ke-13 M itu merupakan hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang Muslim sejak abad ke-7 M, dan seterusnya.

Meski Alquran dari abad ke-13 M itu hingga kini tidak berhasil ditemukan, namun Alquran tertua dari kawasan Nusantara dapat diketahui berasal dari akhir abad ke-16. Penyalinan Alquran secara tradisional berlangsung sampai akhir abad ke-19 M atau awal abad ke-20 M yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Riau, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ternate, dan lain-lain. Warisan penting masa lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, kolektor, pesantren, masjid, serta ahli waris, dan paling banyak berasal dari abad ke-19.

Penyalinan Alquran dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam, baik para penyalin profesional, santri, maupun para ulama. Pada awal abad ke-19 cendikiawan Abdullah bin Abdul Kadir al-Munsyi memperoleh uang dari menyalin Alquran. Para santri di berbagai pesantren juga menyalin Alquran, terutama untuk kepentingan pengajaran. Sementara, beberapa ulama terkenal juga dikatakan pe rnah menyalin Alquran.

Penyalinan Alquran juga dilakukan oleh para ulama atau pelajar yang tengah memperdalam ilmu agama di Makkah. Pada abad ke-16 M sampai 19 M, kota suci ini selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam. Dewasa ini, naskah-naskah Alquran Nusantara banyak disimpan di lembaga-lembaga pemerintah di Malaysia, Indonesia, Belanda, serta beberapa tem pat lain. Namun, di antara kekayaan Alquran Nusantara itu, naskah-naskah di Indonesia diperkirakan tetap merupakan yang terbanyak, dimiliki baik oleh pribadi, museum, masjid, maupun pesantren.

Inventarisasi dan penelitian mengenai Alquran yang dilakukan di berbagai daerah oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, sejak tahun 2003 hingga 2005, serta data lainnya, memperlihatkan bahwa naskah Al quran di Indonesia dapat dikatakan masih cukup banyak, yaitu sekitar 300 naskah. Keberadaan Alquran di berbagai wilayah dan lapisan masyarakat itu menunjukkan bahwa penyalinan Alquran pada masa lampau cukup merata di Nusantara.

Alquran Aceh di berbagai koleksi dunia

Alquran dari Aceh—yang mudah dikenali dari bentuk, motif dan warna hiasannya—kini telah menjadi koleksi berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Di Aceh sendiri, ada tiga lembaga penting yang mengoleksi sejumlah naskah Alquran, yaitu Museum Negeri, Jl Sultan Alauddin Syah, Banda Aceh, mengoleksi sekitar 70-an naskah Alquran, 32 di antara nya Al - quran 30 juz; Yayasan Pendidik an Ali Hasjmy, Jl Sudirman No 20 Banda Aceh, mengoleksi 20 Alquran; dan Dayah Tanoh Abee, Seulimum, Ujong Mesjid, Aceh Besar, mengoleksi 23 buah Alquran.

Selain tiga lembaga tersebut, di Aceh, sejumlah Alquran juga dimiliki oleh perorangan yang merupakan ahli waris keluarga. Di Jakarta, Perpus takaan Nasional RI mengoleksi tujuh Al-quran Aceh. Di luar negeri, Perpustakaan Nasional Malaysia, Kuala Lumpur, mengoleksi empat buah Al quran Aceh; dan Islamic Art Museum Malaysia, Kuala Lumpur, mengoleksi satu
buah.

Sementara di negeri Belanda, ka re na perjalanan sejarah, Universitas Lei den mengo leksi tujuh Alquran Aceh; Konin klijk Instituut voor de Tropen, Ams terdam, mengoleksi tujuh buah; Rijkmuseum voor Volkenkunde, Lei den, mengoleksi enam buah; dan Nijmeegs Volkenkundig Museum, Universi teitsbiblio theekvan Amsterdam, Uni versiteits bibliotheek, Ut recht, serta Wereld museum, Rotterdam, masing-masing mengoleksi satu Alquran dengan hi asan khas Aceh. Di luar data ini, baik di dalam ma pun di luar negeri, di perkirakan masih banyak terdapat Alquran dari Aceh yang tidak tercatat.

Gaya iluminasi khas Aceh Iluminasi (illumination) berasal dari akar kata illuminate, berarti to light up, to make bright, to decorate — yaitu hiasan naskah yang bersifat abstrak, tidak fungsional menjelaskan teks seperti ilustrasi, dan berfungsi semata ‘menerangi’, atau seb agai ‘penerang’ bagi teks yang disa jikan.

Di dalam Alquran, iluminasi biasanya menghiasi bagian awal, tengah, dan akhir Alquran. Hiasan di ketiga tempat ini merupakan bagian yang sangat penting dalam seni naskah Al-quran, dan terdapat di hampir seluruh Alquran Nusantara. Ragam hias yang digunakan terutama adalah ragam hias floral (tetumbuhan) dan geometris.

Namun, berbeda dengan Alquran dari negeri-negeri Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Persia yang banyak menggunakan ragam hias geometris, di samping floral, Alquran Nusantara kebanyak an menggunakan ragam hias floral, dan tidak terlalu banyak ragam geometris.

Alquran dari Aceh memiliki gaya khas, dan biasanya mudah diidentifikasi dengan jelas melalui pola dasar, motif hiasan, dan pewarnaannya. Iluminasi khas itu biasanya terdapat di bagian awal, tengah, dan akhir Al quran. Iluminasi dua halaman si metris di awal Alquran berisi Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqa rah. Tradisi pemberian iluminasi di bagian ini terdapat di dalam Alquran dari berbagai daerah Nusantara, dan merupakan tradisi penting penyalinan Alquran di dunia Islam pada umumnya.

Iluminasi di bagian tengah Alquran, khususnya dalam tradisi penyalinan Alquran di Aceh, hampir bisa dipastikan berisi permulaan juz ke-16. Hal ini berbeda dari tradisi penyalinan Alquran di Nusantara lainnya, karena iluminasi tengah Alquran, selain ber isi permulaan juz ke-16 itu, kadang-kadang juga berisi permulaan Surah al-Isra’ atau permulaan Surah al-Kahf. Namun, sebagaimana tradisi iluminasi Alquran di dunia Islam, demikian juga dan Nusantara, tidak semua naskah Al quran Aceh beriluminasi di bagian te ngah. Ada sebagian Alquran yang hanya beriluminasi di awal dan akhir naskah.

Dalam tradisi Aceh, naskah-naskah Alqur an yang beriluminasi di awal juz ke-16 ba nyak yang mengesan kan seakan-akan Al quran itu dibagi menjadi dua bagian, juz 1-15 dan juz 16-30, meskipun kedua bagian itu selalu dalam satu jilid. Pembagian itu kadang-kadang tampak cukup tegas, karena di akhir juz 15 banyak yang ditandai dengan se macam garis khusus dalam bentuk segi tiga, bahkan ka dang-kadang dibubuhi ka ta tamm (selesai, tamat).

Adapun iluminasi di akhir Alquran, sama dengan tradisi lain di Nusantara dan dunia Islam, berisi Surah al-Falaq dan Surah an-Nas, kedua surah terakhir Alquran.

Beberapa gaya iluminasi terpenting seni mushaf Nusantara yang saat ini sudah teridentifikasi — berdasarkan kajian dan observasi— di antaranya adalah gaya Aceh, Bugis, Jawa, Lombok, Banten, Patani di Thailand Selatan, dan Terengganu di Pantai Timur Semenanjung Malaysia. Pola dasar iluminasi Alquran khas Aceh biasanya dicirikan dengan be berapa bentuk. Pertama, bentuk persegi dengan garis vertikal di sisi kanan dan kiri yang menonjol ke atas dan kebawah, biasanya dalam bentuk lancip atau lengkungan. Kedua, ben tuk semacam kubah atau mahkota di bagian atas, bawah, dan sisi luar. Ke tiga, hiasan semacam kuncup di ujung masingmasing kubah tersebut. Ke empat, hiasan sepasang ‘sayap’ kecil di sebelah kiri dan kanan halaman iluminasi.

Iluminasi khas tersebut tidak hanya terdapat dalam Alquran, namun juga dalam naskah-naskah
keagamaan selain Alquran, dan ada pula dalam naskah hikayat, namun dengan struktur pola yang berbeda. Pola dan motif sulur dalam iluminasi Aceh bervariasi, namun secara umum memperlihatkan standar pola tertentu, dan dalam pewarnaan dapat dikatakan selalu seragam, sehingga mudah dikenali. Warna yang dipakai terutama ada lah merah, kuning, hitam, dan putih, namun tidak menggunakan tinta atau cat putih, tetapi warna kertasnya itu sendiri. Warna lain yang digunakan pula, meskipun jarang, adalah biru. Warna ini khususnya digunakan dalam pola iluminasi mushaf Aceh yang berbeda.

Kaligrafi Berhias Ala Aceh

Meskipun Aceh telah memiliki tradisi yang panjang dalam penyalinan naskah, dan huruf Arab telah dipakai selama berabad-abad, sejauh ini belum dapat diidentifikasi adanya suatu gaya tulisan khas Aceh yang bisa dianggap baku.

Sebenarnya ini merupakan gejala umum di Nusantara, karena di kawasan terjauh dari pusat Islam ini, tulisan Arab tampaknya tidak pernah benar-benar menjadi suatu ‘disiplin’ seni tulis-menulis — berbeda dengan kawasan dunia Islam pada umumnya.

Meskipun demikian, di Aceh terdapat suatu gaya tulisan khas yang sangat unik. Dalam naskah selain Alquran biasanya muncul pada kata kumulaiatau al-kalam, yang sering menjadi kata pertama dalam suatu teks. Kata pembuka itu memperoleh perhatian khusus dari penyalin, dan huruf kaf-nya sering dihias sedemikian rupa, dan diberi warna merah.

Dalam naskah Alquran, kaligrafi unik khas Aceh muncul pada tulisan juz, nisf, rubu’, dan sumun yang terletak di sisi luar halaman teks Alquran. Dalam sebagian naskah, tulisan yang merupakan ‘tanda pembacaan Alquran’ itu tampak tidak mengutamakan keterbacaan, namun lebih mengedepankan ekspresi artistik tertentu, sebagai bagian dari dekorasi mushaf.

Dilihat dari segi huruf, komposisi tulisan itu tidak mudah dibaca. Namun, tampaknya memang bukan keterbacaan itu yang ingin dicapai penulisnya, melainkan sekadar memberikan tanda bahwa di tempat tersebut terdapat tanda pembacaan, dan itu dilakukan dengan suatu komposisi artistik tertentu, sesuai dengan motif hiasan floral khas Aceh. Komposisi itu sangat mungkin digubah oleh iluminator naskah, bukan oleh penyalin teks Alqurannya.

Beberapa catatan mengenai kajian Seni Mushaf boleh dicapai di blog beliau:
http://mushafnusantara.blogspot.com

Thursday, October 15, 2009

PUASA SYAWWAL PELENGKAP PUASA SETAHUN

Abu Ayyub Al-Ansari r.a. meriwayatkan, Nabi s.a.w. bersabda maksudnya: "Sesiapa berpuasa penuh di bulan Ramadan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti dia berpuasa selama satu tahun .” (Riwayat Muslim).

Imam Ahmad dan Al-Nasa'i, meriwayatkan daripada Thauban, Nabi s.a.w bersabda maksudnya: "Puasa Ramadan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." (Hadis riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Sahih" mereka.)

Daripada Abu Hurairah r.a., Nabi s.a.w. bersabda maksudnya: "Sesiapa berpuasa Ramadan lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (Riwayat Al-Bazzar)

Antara manfaat puasa setelah Ramadan seperti berikut:

  1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala daripada puasa setahun penuh.
  2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan solat sunat rawatib. Ia berfungsi sebagai penyempurna daripada kekurangan. Ini kerana pada hari Kiamat kelak, segala amalan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan amalan sunat, sebagaimana keterangan yang datang daripada Nabi s.a.w. melalui pelbagai riwayat. Seandainya puasa fardu yang dilakukan oleh kaum muslimin memiliki kekurangan dan tidak sempurna, maka hal itu memerlukan sesuatu yang menampungnya dan menyempurnakannya.
  3. Membiasakan puasa setelah Ramadan menandakan diterimanya puasa Ramadan. Ini kerana apabila Allah s.w.t. menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan amalan yang baik setelahnya.
  4. Antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal jua ialah amal-amal yang dikerjakan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama dia masih hidup.

Seorang yang berpuasa setelah Ramadannya bagaikan seorang yang cepat-cepat kembali ke perjuangan fi sabilillah setelah pulang ke kampung halamannya. Ini kerana tidak sedikit manusia yang gembira dengan berlalunya Ramadan disebabkan mereka tdak lagi merasa berat, letih dan menahan diri lantaran berpuasa Ramadan. Seorang yang merasai demikian, maka berat baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa. Padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa. Dia tidak merasa bosan dan berat apalagi benci.

Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadan tetapi jika Ramadan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi. Beliau berkata, "Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang salih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Seandainya seorang yang memiliki hutang puasa Ramadan lalu mula membayarnya di bulan Syawal, hal itu mempercepatkan proses pembebasan dirinya daripada tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal. Dengan demikian, dia telah melakukan puasa Ramadan dan menyusulinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya sehinggalah maut menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman yang bermaksud : "Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) " (Al-Hijr: 99)

Perlu diingatkan juga bahawa solat dan puasa sunat serta sedekah yang dikemukakan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. pada bulan Ramadan adalah disyari'atkan sepanjang tahun. Ini kerana hal itu mengandungi pelbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai pelengkap daripada kekurangan yang terdapat pada fardu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, selawat dan salam di panjatkan selalu ke Junjungan Nabi tercinta, seluruh keluarga dan sahabatnya.


DIPETIK DARIPADA BUKU : RISALAH RAMADAN : MERAIH LAILATUL QADAR